Perempuan-Perempuan Ka'bah
Oleh: Pradana Boy ZTF, Dosen Fakultas Agama Islam Universias Muhammadiyah Malang
TUJUH putaran sa’i dan tahallul (memotong beberapa helai rambut setelah sa’i) telah saya lewati. Beberapa kawan yang bersama saya saat menjalankan umrah sunnah malam menjelang subuh itu kemudian bergeser ke sisi bagian kanan dari arah sa’i jalur Shafa menuju Marwa untuk membasuh kaki dan berwudhu.
Saat melintas menuju kawasan wudhu, terlihat satu bagian pelataran yang dilindungi dengan barrier plastik besar berwarna hijau yang biasa ditemukan di jalan-jalan raya. Saat itulah seorang teman mengabarkan bahwa lokasi yang ditandai khusus itu dulunya adalah rumah Khadijah, isteri Nabi Muhammad SAW dan perempuan pertama yang mengimani kenabiannya.
Haji dan Umrah adalah ziarah iman dan spiritual dengan cara, salah satunya, mengunjungi tempat-tempat yang menjadi saksi peletakan dasar agama Islam. Sa’i sendiri adalah sebuah napak tilas imani untuk mengenang sekaligus meneledani perjuangan seorang ibu (Hajar) yang mengasuh dan membesarkan anaknya (Ismail) seorang diri dalam keikhlasan dan kepasrahan kepada Allah. Atas perintah Allah, Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail di tempat yang kini bernama Ka’bah.
Ibrahim menempatkan keduanya di Ka’bah dan meninggalkan karung berisi kurma dan geriba berisi air. Ia lalu pergi untuk meninggalkan anak dan isterinya. Hajar mengikutinya, lalu berkata; “Wahai Ibrahim, hendak ke mana engkau pergi? Apakah kamu (tega) meninggalkan kami di lembah yang tidak ada seorang manusia dan tidak ada sesuatu apapun ini?”
Ibrahim bergeming, sementara Hajar terus saja mengulang-ulang pertanyaannya itu. Ibrahim terus berlalu, dan tak menoleh lagi kepadanya. Akhirnya Hajar kembali bertanya: “Apakah Allah yang memerintahkan kamu atas semuanya ini?” Pada saat Ibrahim menjawab “ya”, Hajar berkata; “Kalau begitu, Allah tidak akan menelantarkan kami.”
Tak banyak diungkap, bahwa haji sebenarnya mengandung pelajaran tentang perjuangan kaum perempuan. Aspek inilah yang menjadi titik balik kecintaan pada Islam bagi seorang Muslimah Amerika, Asra Nomani. Meski terlahir di tengah-tengah keluarga Muslim di India, dan menjadi seorang Muslimah di Amerika, ia meragukan agamanya sendiri.
Ia merasakan agama tak cukup memberikan makna dalam hidupnya. Atau tepatnya ia ragu apakah agama yang ia anut, yaitu Islam, memberikan kebebasan kepada perempuan. Hal yang menarik tentang Asra adalah keragauannya pada Islam tidak menjadikannya menjauh. Sebaliknya, ia justru mendekat untuk memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang agama yang dia anut.
Tentu tidak mengejutkan bahwa Nomani menemukan haji sebagai sarana untuk menemukan jawaban atas segala pertanyaannya tentang Islam selama ini. Namun yang mengejutkan adalah bagaimana ia sampai kepada sebuah tekad bulat untuk menunaikan ibadah haji.
Sebagai seorang jurnalis di Wall Street Journal, pada suatu hari Asra mendapat tugas meliput kegiatan Dalai Lama yang sedang menjalankan ziarah suci di Sungai Gangga, situs suci bagi umat Hindu. Dalam sebuah sesi tanya jawab, Asra bertanya kepada Dalai Lama, ‘’Melalui perenungan diri, kita bisa menepis ego dan hasrat kuasa dalam kehidupan. Lalu apakah yang bisa dilakukan oleh para pemimpin agama untuk mengubah umat agama yang berbeda agar tidak saling membenci?”
Dalai Lama merespons pertanyaan Asra: “Ada tiga hal yang harus kita lakukan,” kata Dalam Lama. “Pertama, bacalah karya para sarjana dari agama-agama lain. Kedua, berdialoglah dengan orang-orang tercerahkan dari masing-masing agama. Ketiga, lakukanlah ziarah suci...”
Dalam Islam, ziarah suci itu tak lain adalah menunaikan ibadah haji. Jawaban itu menyentakkan kesadaran Asra. Sebagai seorang jurnalis, ia telah menyertai Dalai Lama, pemimpin Budhisme, melakukan ziarah suci di Sungai Gangga. Namun sebagai seorang Muslimah, ia belum pernah melakukan ibadah haji ke Makkah.
Dalam konteks yang berbeda, refleksi ini mirip dengan pengalaman spiritual yang saya alami saat menjalani pendidikan singkat di Amerika Serikat pada tahun 2017. Menjalankan shalat di atas sajadah bergambar Ka’bah menjadikan saya masygul bertanya, “Telah banyak negara kujelajajahi, namun Makkah, kota paling suci dalam agamaku justru belum pernah kukunjungi.” (Kisah lebih lengkap tentang pengalaman spiritual saya ini bisa dibaca dalam buku Dari Amerika Kurindukan Ka’bah, Pengalaman Perjalanan Di AS, Dosen UMM Terbitkan Buku ‘Dari Amerika Kurindukan Ka'bah’ - Halaman all - Suryamalang.com).
Singkat kata, Asra membulatkan tekad untuk berhaji yang dimulai dari kota tinggalnya di Amerika Serikat. Jika perjalanan ibadah haji diniatkan sebagai memperberat kadar iman, maka di setiap relung perjalanan akan ditemukan refleksi-refleksi diri yang akan memperkuat dimensi keimanan. Iman adalah aspek universal dalam beragam, tetapi pengalaman spiritual orang beragama adalah hal yang bersifat khusus atau partikular. Ia bersifat pribadi dan tak bisa ditiru.
Demikianlah yang dialami Asra Nomani. Pengalaman personalnya sebagai seorang single mother, mengarahkannya pada pencarian tentang di manakah keberpihakan Islam pada perempuan.
Dengan cerita yang panjang dan tak mudah, Asra pada akhirnya menjejakkan kakinya di Makkah. Standing Alone in Mecca (Berdiri Seorang Diri di Makkah) adalah sebuah buku naratif personal yang dihasilkan oleh Asra Nomani selama menjalankan ibadah haji. Pengalamannya sebagai single mother memberikan kesan yang mendalam baginya untuk mencari makna Islam bagi penghormatan terhadap perempuan.
Lalu, inilah kesimpulannya. Dengan berdiri seorang diri di Makkah, ia menemukan model-model perempuan super yang mewarnai sejarah Islam.
Hari-hari yang ia lalui dalam perjalanan hajinya memberikan gambaran yang kuat bagi Nomani tentang figur-figur perempuan dalam Islam yang berbeda. Ia menemukan sosok Hawa, dari siapa ia belajar tentang dosa dan penebusan dosa. Lalu Hajar, seorang ibu tunggal yang ditinggalkan di padang pasir yang mengajarinya tentang keberanian dan keteguhan seorang ibu. Kemudian Khadijah, perempuan dermawan pertama Islam dan pelopor hak wanita Muslim untuk menentukan nasib sendiri. Kemudian Aisyah, istri kesayangan Nabi Muhammad dan teolog wanita pertama Islam.
Terinspirasi oleh para wanita Muslim yang heroik ini, Nomani kembali ke Amerika untuk melawan seksisme dan intoleransi di masjid setempat dan untuk memperjuangkan hak-hak wanita Muslim modern yang lelah berdiri sendiri melawan aturan dan regulasi represif yang diberlakukan oleh fundamentalis reaksioner. Nomani menunjukkan bagaimana kebebasan perempuan yang sesungguhnya telah digelorakan oleh Islam berabad-abad lalu itu, rupanya telah dihapuskan oleh kalangan Islam konservatif.
Inilah yang menjadikan dunia luar Islam, termasuk dunia Barat memiliki pandangan palsu tentang wanita Muslim yang terselubung dan terisolasi dari dunia. Standing Alone in Mecca adalah narasi pribadi, yang menghubungkan kehidupan penulis dan wanita Muslim lainnya di masa kini dengan kehidupan orang-orang terdahulu, yang membawa perubahan wajah wanita dalam Islam menjadi fokus melalui lensa haji yang unik.
Inilah contoh pengalaman spiritual yang unik tentang haji. Sebuah perjalanan religius yang ternyata memiliki banyak dimensi. Haji yang mengungkap fakta tentang kebebasan perempuan yang dialami oleh “Perempuan-perempuan Makkah”, adalah salah satu dimensi saja dalam kekayaan makna spiritual dan sosial haji.