Oleh: Donny Syofyan. Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Mari kita lepaskan sejenak pandangan kita dari kehidupan duniawi yang fana, dan menyelami samudra misteri yang menyelimuti perjalanan jiwa manusia. Islam mengajarkan bahwa kehidupan kita bukanlah sekadar garis lurus dari lahir hingga mati, melainkan sebuah pengembaraan panjang yang melintasi dimensi waktu dan ruang.
Jauh sebelum kita merasakan hangatnya sinar matahari atau menghirup udara pertama di dunia ini, jiwa kita telah ada, menari dalam keabadian, berinteraksi dengan Sang Pencipta dalam dimensi yang tak terjangkau oleh indra manusia. Di alam pra-eksistensi itu, jiwa kita telah mengikrarkan janji suci, sebuah perjanjian abadi dengan Tuhan yang menjadi fondasi bagi perjalanan spiritual kita di dunia.
Namun, pemahaman kita tentang alam arwah dan perjanjian primordial ini masih diselimuti kabut misteri. Bagaimana jiwa terbentuk, bagaimana perjanjian itu terjalin, semua itu masih menyimpan tanya yang menggugah rasa ingin tahu kita akan keagungan ciptaan Tuhan. Yang pasti, setelah melewati gerbang keabadian itu, kita hadir di dunia, menjelma menjadi manusia utuh, perpaduan sempurna antara raga dan jiwa. Raga kita, meski rapuh dan sementara, adalah kendaraan bagi jiwa untuk mengembara di dunia fana. Namun, jiwa, itulah hakikat diri kita yang sejati, yang melampaui batas-batas fisik dan akan terus hidup bahkan setelah raga kembali ke tanah.
Perjalanan hidup kita di dunia ini adalah kesempatan untuk memenuhi perjanjian suci itu, untuk mengenali dan mencintai Tuhan dengan sepenuh hati. Setiap langkah, setiap pilihan, setiap detak jantung, adalah bagian dari perjalanan panjang jiwa kita menuju keabadian. Di balik lapisan kulit dan daging, tersembunyi inti diri kita yang sejati: jiwa. Ia bukan sekadar bayangan di cermin, melainkan esensi terdalam yang tak tergoyahkan oleh perubahan fisik. Bahkan jika raga ini kehilangan anggota tubuhnya, bahkan jika raga ini kembali menjadi debu, jiwa tetaplah utuh, tak terluka, abadi.
Jiwa adalah saksi abadi perjalanan hidup kita. Ia merekam setiap pengalaman, setiap pilihan, setiap tetes air mata dan setiap senyuman. Ia membentuk kepribadian kita, menjadikannya unik dan tak tergantikan. Kelak, di hadapan Sang Pencipta, jiwa inilah yang akan mempertanggungjawabkan setiap langkah yang kita ambil di dunia. Namun, ada misteri yang menghantui: jika jiwa telah ada sebelum kita lahir, mengapa ingatan akan masa pra-kelahiran itu tertutup rapat? Mengapa perjanjian suci dengan Tuhan, yang katanya telah kita ikrarkan, tak tersimpan dalam lipatan memori kita?
Pertanyaan-pertanyaan ini menggoda kita untuk terus menggali lebih dalam, menjelajahi labirin jiwa yang penuh keajaiban. Mungkin, ingatan itu sengaja dihapus agar kita bisa menjalani kehidupan di dunia ini dengan bebas, tanpa beban masa lalu. Atau mungkin, ia tersimpan di suatu sudut tersembunyi dalam diri kita, menunggu untuk diungkap pada saat yang tepat.
Apapun jawabannya, misteri ini mengingatkan kita akan keagungan jiwa manusia, sebuah entitas yang melampaui batas-batas pemahaman kita. Ia adalah bukti akan kasih sayang dan kebijaksanaan Tuhan, yang menciptakan kita dengan begitu sempurna dan misterius.
Gambaran klasik tentang perjanjian primordial, di mana kita semua berkumpul di alam arwah dan serempak menjawab "Ya" kepada Tuhan, terasa kurang lengkap dan membutuhkan pendalaman. Meskipun Al-Qur'an jelas menyebutkan adanya perjanjian ini, kita tidak harus terpaku pada interpretasi literal bahwa itu terjadi sebelum kita lahir ke dunia.
Mungkin saja, Al-Qur'an ingin menyampaikan pesan yang lebih subtil dan mendalam. Perjanjian ini bukanlah sekadar peristiwa historis yang samar-samar, melainkan sebuah pengalaman spiritual yang terus bersemi sepanjang hidup kita. Setiap kali kita merasakan kehadiran Tuhan yang Maha Pengasih, setiap kali hati kita bergetar mengakui keagungan-Nya, setiap kali kita memilih jalan kebaikan di tengah gempuran godaan, saat itulah kita sebenarnya sedang memperbarui perjanjian suci dengan Sang Pencipta.
Dengan demikian, perjanjian primordial bukanlah sekadar kenangan masa lalu yang terlupakan, melainkan komitmen yang terus kita hidupkan setiap hari. Ia adalah pengingat akan fitrah kita sebagai hamba, bahwa kita diciptakan untuk menyembah dan mengabdi kepada Tuhan. Pemahaman yang lebih dinamis dan personal ini menjadikan perjanjian primordial lebih relevan dan bermakna dalam kehidupan kita sehari-hari. Ia bukan lagi sekadar konsep abstrak, melainkan sebuah ikatan batin yang menguatkan hubungan kita dengan Sang Khalik.
Mari kita bayangkan sejenak, proses penciptaan kita adalah sebuah simfoni kosmik yang dimainkan oleh Sang Pencipta dengan penuh keagungan. Setiap sel, setiap atom dalam tubuh kita, adalah not-not indah yang disusun dengan presisi tak terhingga, hingga akhirnya tercipta sebuah mahakarya: kesadaran manusia. Ketika kesadaran ini mencapai puncaknya, kita pun mampu menangkap bisikan-bisikan ilahi, mengakui keberadaan Tuhan, bahkan terkadang tanpa kita sadari sepenuhnya.
Bahkan seorang ateis yang paling skeptis pun, di saat-saat terdesak, mungkin tanpa sadar akan berseru memohon pertolongan kepada Tuhan. Ini adalah bukti bahwa jauh di dalam relung jiwa setiap manusia, tertanam fitrah yang mengakui Sang Pencipta. Tubuh kita sendiri adalah manifestasi nyata dari kekuasaan dan keagungan Tuhan. Jantung yang berdetak tanpa henti, mata yang berkedip tanpa perlu kita perintahkan, semua ini adalah bagian dari rancangan-Nya yang maha sempurna. Kita adalah makhluk yang tunduk pada kehendak-Nya, terikat oleh hukum-hukum alam yang telah Dia tetapkan.
Setiap detak jantung, setiap tarikan napas, bahkan setiap kedipan mata, adalah pengingat akan betapa kita bergantung pada-Nya. Kita adalah bagian kecil dari alam semesta yang harmonis, diatur oleh hukum-hukum yang begitu indah dan teratur. Kesadaran akan hal ini membawa kita pada pengakuan yang tulus akan kebesaran Tuhan, dan mengingatkan kita akan peran kita sebagai hamba-Nya yang berserah diri.
Di kedalaman jiwa setiap insan, tersimpan sebuah ruang suci, sebuah koneksi abadi yang menghubungkan kita dengan Sang Pencipta. Ketika Tuhan berbisik lembut, "Bukankah Aku Tuhanmu? Kenalilah Aku," ada gema samar dalam hati kita yang menjawab, "Ya." Namun, di panggung kehidupan yang penuh pilihan, manusia diberi kebebasan untuk menentukan jalannya sendiri. Ada yang menyambut panggilan itu dengan tangan terbuka, membiarkan cinta kepada Tuhan memenuhi relung hatinya, dan melangkah teguh di jalan yang diridhoi-Nya. Namun, ada pula yang memilih untuk berpaling, menutup mata dari cahaya kebenaran, dan berjalan menjauh dari Sang Pencipta.
Perjanjian primordial dengan Tuhan bukanlah sekadar kontrak tertulis yang usang dimakan waktu. Ia adalah panggilan abadi yang terus bergema dalam jiwa kita, mengajak kita untuk kembali pada fitrah suci. Setiap keputusan yang kita buat, setiap tindakan yang kita lakukan, adalah respons kita terhadap panggilan itu. Kita memiliki kebebasan untuk memegang teguh perjanjian itu, berjalan dalam naungan kasih sayang-Nya, atau mengabaikannya dan menanggung konsekuensi dari pilihan kita sendiri.
Namun, perlu kita ingat, perjanjian ini bukanlah sekadar transaksi untung rugi. Ia adalah ikatan cinta antara makhluk dan Khaliknya. Memilih untuk taat kepada Tuhan bukanlah sekadar menghindari siksa, melainkan juga meraih kebahagiaan sejati, ketenangan jiwa, dan cinta yang tak terhingga.
Namun, perlu kita pahami bahwa perjanjian ini bukanlah sekadar transaksi duniawi antara manusia dan Tuhan. Ia adalah ikatan cinta yang murni, hubungan yang mendalam antara makhluk dan Khaliknya. Ketaatan kepada Tuhan bukanlah semata-mata untuk menghindari hukuman, melainkan juga untuk meraih kebahagiaan sejati, ketenangan jiwa, dan merasakan cinta Ilahi yang tak terhingga.
Marilah kita merenungkan panggilan Tuhan yang senantiasa bergema dalam hati kita. Marilah kita dengan penuh kesadaran memilih untuk menjawab "Ya", dan menjalani hidup ini di bawah naungan kasih sayang dan ridha-Nya. Setiap manusia, pada dasarnya, telah merespons panggilan Tuhan. Sejak lahir, kita memiliki "fitrah", sebuah kecenderungan alami untuk mengakui Tuhan sebagai Pencipta. Hal ini terlihat dari bagaimana seorang anak kecil secara alami mencari perlindungan dan rasa aman pada sosok yang lebih besar. Bahkan di tingkat bawah sadar, ada pengakuan akan keberadaan Tuhan.
Namun, seiring berkembangnya kesadaran, manusia diberi kebebasan untuk memilih. Ada yang menerima fitrah ini dan membangun hubungan yang lebih mendalam dengan Tuhan, sementara yang lain mungkin memilih untuk menolaknya. Inilah kompleksitas manusia, di mana kita dianugerahi kemampuan berpikir dan memilih secara bebas.
Perjanjian primordial dengan Tuhan, yang dalam pandangan klasik dianggap terjadi sebelum kita lahir, bisa jadi tidak perlu dipahami secara harfiah. Mungkin, ia adalah metafora yang mengingatkan kita akan fitrah terdalam kita. Setiap sel dalam tubuh kita, setiap detak jantung, adalah bukti nyata akan keberadaan dan kekuasaan Tuhan. Jika demikian, mengapa ada di antara kita yang secara sadar memilih untuk menolak-Nya? Inilah pertanyaan mendasar yang mengajak kita untuk merenung dan mencari jawabannya dalam perjalanan spiritual masing-masing.