Pesan Kemanusiaan Zakat Fitrah
Oleh: Dr. Irwandi Nashir, Dosen UIN Bukittinggi / Ketua PD Muhammadiyah Payakumbuh
Setiap ibadah yang dibebankan (taklif) oleh Allah Ta'ala kepada hamba-Nya sering kali diiringi oleh amalan yang berfungsi sebagai penyempurna. Dalam shalat fardhu, misalnya, dianjurkan untuk menambah dengan shalat sunnah sebagai pelengkap. Begitu pula dengan zakat fitrah yang menjadi penyempurna bagi ibadah puasa. Zakat fitrah ditujukan untuk menutup kekurangan yang mungkin terjadi selama menjalankan puasa akibat perilaku yang tidak selaras dengan tuntunan syariat Islam.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Waqi' Ibnul Jarrah Radhiyallahu 'Anhu:
"Zakat fitrah untuk bulan Ramadhan sama halnya dengan sujud sahwi dalam shalat. Ia (zakat fitrah) akan menutupi kekurangan yang ada pada orang yang berpuasa, sebagaimana sujud sahwi itu menutupi kekurangan dalam shalat."
Dalam fiqh Islam, zakat fitrah diwajibkan bagi setiap Muslim, tanpa memandang usia—baik untuk dirinya sendiri, istrinya, anak-anaknya, maupun mereka yang berada dalam tanggungannya, seperti pembantu. Bahkan, seorang bayi yang baru lahir sebelum fajar hari raya Idul Fitri pun wajib dibayarkan zakat fitrahnya.
Para ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai cakupan kewajiban ini. Sebagian berpendapat bahwa seorang Muslim tidak wajib membayarkan zakat fitrah untuk orang tuanya, karena ia tidak memiliki otoritas atas mereka sebagaimana mereka memiliki otoritas atas dirinya. Demikian pula, seseorang tidak berkewajiban membayarkan zakat fitrah bagi istrinya atau anak-anaknya yang sudah dewasa, meskipun mereka adalah keluarganya. Namun, jika ia memilih untuk membayarkan zakat mereka, maka hal itu tetap diperbolehkan dan merupakan amal kebaikan.
Prof. Wahbah Zuhaili dalam Fiqhul Islam wa Adillatuhu (Juz 3, hal. 2038) menyebutkan bahwa zakat fitrah didasarkan pada dua prinsip utama: tanggung jawab dan kekuasaan (al-wilayah) serta kewajiban menafkahi (al-mu'nah). Oleh karena itu, siapa pun yang berada dalam tanggung jawab nafkah seseorang, maka zakat fitrahnya juga menjadi kewajibannya. Hal ini sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:
"Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat fitrah untuk anak kecil, orang dewasa, dan hamba sahaya yang menjadi tanggungan kalian."
Zakat fitrah dapat dibayarkan dalam bentuk makanan pokok yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat, seperti beras, dengan takaran satu sha' (sekitar 2,5 kg). Namun, sebagian ulama juga membolehkan zakat fitrah diberikan dalam bentuk uang, dengan syarat bahwa hal itu lebih memberikan kemaslahatan bagi penerima.
Zakat fitrah bukan hanya sekadar pelengkap ibadah puasa, tetapi juga mengandung pesan sosial yang mendalam. Dalam Al-Qur'an, Allah Ta'ala berfirman:
"Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka menjalin hubungan dengan Allah (hablum minallah) dan hubungan dengan manusia (hablum minannas)..." (QS. Ali 'Imran [3]: 112)
Ayat ini menegaskan bahwa ibadah tidak hanya sebagai jembatan menuju Allah, tetapi juga harus membawa dampak nyata dalam hubungan sosial. Zakat fitrah adalah salah satu wujud nyata dari hubungan kemanusiaan ini.
Namun, mungkin muncul pertanyaan: Jika zakat fitrah berfungsi menyempurnakan ibadah puasa, mengapa bayi yang baru lahir pun wajib dizakati, padahal ia belum berpuasa?
Jawabannya terletak pada esensi kemanusiaan zakat fitrah. Ia bukan hanya tentang individu, tetapi tentang kepedulian sosial. Zakat fitrah bertujuan untuk memastikan bahwa kaum fakir dan miskin dapat turut merayakan hari raya dengan kebahagiaan yang sama. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
"Cukupkanlah mereka (orang fakir dan miskin) pada hari raya ini."
(HR. Daaruquthni, 'Adiy, dan Hakim dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhu)
Pesan dalam hadis ini begitu jelas: Idul Fitri bukanlah hari untuk mempertontonkan kemewahan dan mengagungkan kekayaan, tetapi hari untuk berbagi kebahagiaan secara merata.
Di tengah dunia modern yang semakin materialistis, zakat fitrah berperan sebagai "oase" yang menyejukkan di tengah jurang kesenjangan sosial. Lihatlah di sekitar kita—di kota-kota besar, jumlah pengemudi ojek semakin banyak, tetapi penumpang semakin berkurang. Anak-anak jalanan dan pengemis kian bertambah.
Zakat fitrah mengajarkan bahwa kemiskinan dan penderitaan bukan hanya tanggung jawab individu yang mengalaminya, tetapi juga tanggung jawab bersama. Beban sosial seperti kebodohan, kemiskinan, dan penderitaan bukanlah beban satu orang, tetapi beban umat.
Maka, Idul Fitri yang sejati harus dipimpin oleh jiwa kemanusiaan yang berlandaskan tauhid. Nilai-nilai yang telah dibangun selama Ramadhan—persamaan derajat (al-musawwah), persaudaraan (al-ikhā') , kerja sama (al-mu’āwanah), dan keadilan (al-‘adālah)—harus tetap dijaga dan tidak dikaburkan oleh hegemoni kemewahan dan pamer kekayaan.
Mari kita jadikan zakat fitrah sebagai refleksi kepedulian sosial yang nyata. Semoga zakat yang kita tunaikan tidak hanya menyempurnakan ibadah puasa kita, tetapi juga menjadi sarana untuk membangun kehidupan yang lebih adil dan penuh kasih sayang. Wallahu A'lam.