YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus syarat ambang batas presiden (presidential threshold) 20 persen mendapat tanggapan positif dari Ketua LHKP PP Muhammadiyah, Ridho Al-Hamdi. Menurutnya, keputusan ini membuka peluang untuk menghadirkan kandidat yang lebih beragam pada pemilihan presiden (Pilpres) mendatang. Namun, ia juga mengingatkan pentingnya pengaturan lebih lanjut agar demokrasi tetap berjalan pada jalur yang semestinya.
"Ambang batas presiden 0 persen tidak bisa diterima begitu saja tanpa pengaturan lebih lanjut. Ini bisa membuka peluang bagi kandidat tanpa identitas yang jelas untuk maju, sehingga berpotensi merusak tata kelola demokrasi," ujar Ridho, Rabu (9/1/2025).
Ia menegaskan perlunya pelembagaan partai politik agar konsolidasi demokrasi Indonesia tetap terjaga. Untuk itu, Ridho mengusulkan agar calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diajukan oleh partai politik yang lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold). "Dengan demikian, parliamentary threshold tetap dipertahankan," tambahnya.
Ridho juga menyarankan agar ambang batas parlemen yang saat ini sebesar 4 persen perlu diturunkan. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan bersama tim Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), ia mengusulkan ambang batas parlemen berada pada kisaran 2,5 persen hingga 3 persen, yang setara dengan minimal 18 kursi dari total 580 kursi DPR RI.
"Ambang batas parlemen yang lebih rendah merupakan bentuk apresiasi terhadap partai politik yang berhasil memperoleh kursi DPR RI. Ini juga memberikan insentif bagi partai politik yang gagal untuk bekerja lebih serius pada pemilu berikutnya," jelasnya.
Ia juga menyoroti masalah wasted vote atau suara yang terbuang. Pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2014, wasted vote mencapai 21,79 persen atau setara 124.972.491 suara menggunakan metode hitung Kuota Hare. Pada Pileg 2019, wasted vote sebesar 21,43 persen atau 29.532.028 suara dengan metode Sainte Lague Murni. "Ambang batas parlemen yang lebih rendah dapat meminimalkan wasted vote ini," kata Ridho.
Ridho mengingatkan bahwa ambang batas parlemen 0 persen tidak mendukung pelembagaan partai politik. Ia mengacu pada pengalaman Pemilu 2004, di mana fraksi gabungan dari beberapa partai politik akhirnya bubar karena perbedaan internal yang signifikan. "Ini bukti bahwa pelembagaan partai politik sangat penting," ujarnya.
Di akhir pernyataannya, Ridho menekankan bahwa setiap keputusan politik memiliki risiko. Namun, jalan tengah adalah solusi terbaik untuk mengatasi persoalan. "Dengan ambang batas presiden 0 persen yang diimbangi dengan ambang batas parlemen 2,5 persen hingga 3 persen, diharapkan konsolidasi demokrasi tetap berjalan pada rel yang tepat tanpa mengorbankan keragaman dan kualitas demokrasi," pungkasnya. (Riz)