Hidup itu misteri. Tak ada seorang pun di persada buana ini dapat membongkar kontak pandora untuk mengetahui peristiwa seperti apa yang bakal mendera. Itu sebuah keniscayaan sebagaimana Tuhan menggoreskan di setiap jejak langkah umat manusia. Artinya, manusia hanya bisa menjalani tanpa bisa menyangkal sedikitpun.
Demikianlah substansi hidup. Adakalanya manusia memproyeksi, mencandra, tapi adakalanya Tuhan menghendaki. Pergulatan manusia di rimba kehidupan merupakan manifestasi dari ikhtiar sebagai pengabdi Ilahi. Kemunculan hal-hal tak terduga, seperti talenta sebagai bonus semata. Talenta terbentuk dari usaha begitu rupa dari sukma suci, yang ditopang pancaran doa menembus langit Ilahi.
Hanya dengan keterpaduan kesungguhan, talenta niscaya berkembang. Talenta tidak akan terbentuk manakala hanya berangan-angan minus usaha yang tersemburat setiap personal. Manusia bertalenta banyak berceceran di muka bumi. Hanya saja, talentanya itu terkadang menggantung di petala cakrawala hatta ketidakmauan menggembleng diri laksana di kawah candradimuka.
Padahal, talenta adalah anugerah semesta. Hanya orang-orang terbuka alam pikirannya, yang berkenan menumbuhkembangkan talentanya. "Manusia tidak memiliki talenta yang sama, tapi kita memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan talentanya,” kata John Fitzgerald Kennedy.
Semua itu dilakukan oleh Deni Asy’ari, MA., Dt Marajo sang nakhoda bahtera Suara Muhammadiyah. Talentanya nian distingtif. Beda dari yang lainnya. Talenta berupa menulis menjadi kesukaannya sejak mahasiswa. Saat itu, Deni telah aktif dan produktif dalam menulis. Tapi, Deni menjumpai batu penarung dalam menulis, yakni penolakan redaksi terhadap tulisannya.
“Saya mengirim sebanyak 79 artikel, baru artikel ke-80 diterima (dimuat). Tetapi itu justru menjadi semangat awal saya untuk terus menulis,” ujarnya.
Spiritnya tidak pernah reda. Terus-menerus belajar menulis, sampai jadi penulis. Banyak terinspirasi dengan memulai belajar menulis sampai pada akhirnya menembus media ternama. Kendati demikian, ada sisi lain yang jarang diketahui banyak orang. Sosok kelahiran Minangkabau yang dibesarkan di Negeri Kubang Putiah, Kabupaten Agam-Bukittinggi, Sumatera Barat ini punya talenta di bidang memasak.
Deni mengungkapkan, hal tersebut dilatarbelakangi dari kultur general orang Minang. “Orang Minang itu kalau tidak bisa masak, katanya bukan orang Minang baik laki-laki atau perempuan. Walaupun, secara khusus ada juga yang tidak bisa memasak. Tapi secara umum, harus bisa memasak,” tegasnya.
Memang demikianlah orang Minang. Mendominasi membuka warung makan nan khas rasa pedasnya. “Kalau orang Minang tidak bisa memasak, ya tidak ada masakan Padang, terutama di tempat kita di Jogja. Makanya, laki-laki Minang itu harus bisa memasak,” ucapnya.
Diketahui, Deni terlahir dari sosok ibu yang punya talenta memasak luar biasa. Sosok ibunyalah menjadi titik ketertarikan Deni untuk berkecimpung di dunia memasak. “Saya belajar dari ibu saya. Setiap ke pasar saya ikut, dan di dapur saya belajar bersama ibu. Jadi, sedikit mendapat ilmu tentang memasak,” tuturnya.
Deni mengejawantahkan talentanya saat di Padang Panjang, Sumatera Barat saat menjadi marbobot hampir 3 tahun. “Posisi saya jadi marbot, saya memasak sendiri. Ilmu yang pernah dikasih oleh ibu saya praktikkan. Jadi, lama-lama menjadi hal yang biasa,” ungkapnya. Bahkan, ketika masakannya berbeda dari yang diajarkan oleh ibunya, Deni mengeluh kepada ibunya. “Kalau rasa masakan saya berbeda dari ibu saya, saya protes ‘kok beda sih yang Deni bikin,’ katanya.
Dengan talenta memasaknya yang diasah secara otodidak, Deni tak segan-segan memasakan untuk orang lain. Di saat bersamaan, juga bereksperimen mencari bumbu dapur untuk bahan-bahan memasak. “Karena bagian dari talenta dan eksperimen, sampai sekarang masih rutin memasak,” paparnya.
Deni menegaskan bumbu dapur harus dirinya sendiri yang beli di pasar tradisional. Dengan menu khas Minang, mulai dari gulai, rendang, dendeng, telur, dan lainnya. “Itu menu-menu rutin yang sering saya buat. Terutama dendeng, ini makanan favorit saya,” ucapnya.
Tatkala memasak, Deni selalu teringat dengan ibunya yang telah begitu rupa menyemai ilmu memasak. “Kalau saya kangen ibu, ada beberapa hal yang saya lakukan, di antaranya memasak. Ini paling dekat emosionalnya. Apalagi masakan-masakan yang sering saya diskusikan sama ibu saya. Betul, bahwa memasak memang bisa mengingatkan dengan sosok ibu saya,” tandasnya.
Dari talentanya, Deni berkelakar ingin membuka sendiri warung maka. Namun, Deni belum akan melakukannya, karena menunggu tempo yang tepat. “Keinginan ada, tapi belum waktunya. Nanti pada waktunya saya ada arahnya ke sana walau bukan saya yang mengelola. Saya lebih punya keinginan memberikan atau memfasilitasi orang lain berusaha, tapi yang punya saya,” pungkasnya. (Cris)