SURVIVAL SEKOLAH MUHAMMADIYAH
Sekolah menengah pertama Yumoto di Prefektur Fukushima adalah salah satu dari sekian kisah suram sekolah di Jepang yang tutup pada 2024. Dua siswa bernama Eita Sato dan Aoi Hoshi menjadi lulusan terakhir dari sekolah yang telah berdiri sejak 76 tahun silam. Meski sebelumnya tersebar desas-desus tentang penutupan sekolah itu, tapi tak ada yang mengira akan berlangsung lebih cepat.
Menurut data pemerintah, sekitar 450 sekolah tutup setiap tahunnya. Antara tahun 2002 hingga 2020, hampir 9.000 sekolah menutup pintu mereka selamanya. Fenomena ini terjadi akibat angka kelahiran di Jepang yang anjlok di bawah 800.000 pada tahun 2022. Bukan hanya Jepang, tren ini juga mulai menjangkiti beberapa negara, mulai dari Asia hingga Eropa.
Di Italia, Menteri Pendidikan Giuseppe Valditara mengatakan bahwa jumlah siswa di negaranya akan turun menjadi 6 juta pada tahun akademik 2033-2034 dari yang semula 7,4 juta pada tahun 2021. Artinya, terjadi penurunan sebesar 110.000-120.000 siswa setiap tahunnya. Hal ini diperkuat oleh data dari biro statistik nasional ISTAT, yang mana angka kelahiran di Italia turun ke level terendah dalam sejarah, yaitu di bawah 400.000 pada tahun 2022. Ini menjadi penurunan ke-14 secara berturut-turut, dengan populasi keseluruhan menurun 179.000 menjadi 58,85 juta.
Secara global, negara-negara maju mengalami penurunan angka kelahiran, tapi tidak ada yang seekstrem Korea Selatan. Di negara yang memiliki julukan Negeri Ginseng itu, daerah pedesaan adalah yang paling terpukul. Sekolah dasar seperti di daerah Dochang ditutup satu per satu karena tidak ada lagi siswa yang tersisa untuk bersekolah. Secara nasional, jumlah sekolah dasar di pedesaan turun dari sekitar 5.200 pada tahun 1982 menjadi sekitar 4.000 saat ini. Dan dalam 10 tahun terakhir, jumlah siswa usia sekolah dasar di kabupaten tersebut turun dari 2.687 menjadi 1.832.
Selengkapnya dapat membeli Majalah Suara Muhammadiyah digital di sini Majalah SM Digital Edisi 12/2024